Lebanon Bentuk Pemerintahan Baru: Harapan Baru di Tengah Krisis

BEIRUT | SUARAHAM – Lebanon kini memasuki babak baru politik dengan terbentuknya pemerintahan baru setelah periode transisi yang panjang. Pada Sabtu (8/2), Presiden Joseph Aoun resmi mengesahkan kabinet yang dipimpin oleh Perdana Menteri Nawaf Salam, sekaligus mengakhiri pemerintahan sementara di bawah PM Najib Mikati.

Menurut pernyataan dari kantor kepresidenan, kabinet baru ini terdiri dari 24 menteri yang mayoritas adalah teknokrat. Mereka diharapkan dapat bekerja lintas partai untuk membangun kembali Lebanon yang tengah dilanda krisis. Tidak ada perwakilan dari kelompok milisi Syiah pro-Iran, Hizbullah, dalam pemerintahan ini.

Sesuai dengan konstitusi Lebanon, jabatan perdana menteri dipegang oleh seorang Muslim Sunni. Nawaf Salam, yang sebelumnya menjabat sebagai Presiden Mahkamah Internasional (ICJ) di Den Haag, dikenal sebagai sosok netral. Para analis menilai pemilihannya sebagai tanda berkurangnya pengaruh politik Hizbullah, meskipun kelompok tersebut masih memiliki kursi di parlemen Beirut.

Dukungan Internasional dan Harapan Reformasi

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyambut baik terbentuknya pemerintahan baru ini. “Pembentukan kabinet ini adalah awal yang cerah bagi Lebanon,” ujar Utusan Khusus PBB Jeanine Hennis-Plasschaert.

Dalam pidato yang disiarkan televisi, Nawaf Salam menegaskan komitmennya untuk mengeluarkan Lebanon dari krisis ekonomi yang berkepanjangan. “Reformasi adalah satu-satunya jalan menuju keselamatan,” ujar politisi berusia 71 tahun itu.

Ia juga berjanji untuk mengembalikan kepercayaan rakyat terhadap negara serta memperbaiki hubungan Lebanon dengan komunitas internasional dan negara-negara Arab. Selain itu, ia menegaskan kesiapannya untuk menegakkan perjanjian gencatan senjata yang mengakhiri perang terbaru antara Israel dan Hizbullah pada akhir November lalu.

Tantangan Berat di Depan Mata

Selama beberapa tahun terakhir, Lebanon menghadapi krisis ekonomi dan politik yang memperburuk kondisi sosial masyarakat serta membebani keuangan negara. Sejak 2022, kebuntuan politik terjadi akibat kegagalan partai-partai di parlemen dalam membentuk koalisi pemerintahan.

Struktur politik berbasis sektarian juga menjadi tantangan tersendiri. Berdasarkan konstitusi, jabatan presiden harus dipegang oleh seorang Kristen Maronit, perdana menteri oleh seorang Muslim Sunni, dan ketua parlemen oleh seorang Syiah.

Namun, melemahnya Hizbullah akibat perang dengan Israel serta tergulingnya rezim Bashar Assad di Suriah diyakini menjadi faktor yang memungkinkan Joseph Aoun terpilih sebagai presiden, membuka jalan bagi Nawaf Salam untuk membentuk pemerintahan baru.

Duta Besar Uni Eropa untuk Lebanon, Sandra De Waele, menyambut baik komitmen pemerintah terhadap agenda reformasi. Ia menegaskan bahwa reformasi sangat diperlukan untuk masa depan Lebanon.

Langkah Selanjutnya

Pemerintahan baru ini menghadapi tugas berat, termasuk menjalankan reformasi ekonomi untuk mendapatkan bantuan finansial dari donor internasional, menjaga stabilitas gencatan senjata antara Israel dan Hizbullah, serta memperbaiki infrastruktur negara yang rusak.

“Saya berharap ini akan menjadi pemerintahan reformasi dan keselamatan,” kata Salam dalam pernyataannya yang disiarkan televisi setelah pengumuman kabinet.

Namun, sebelum dapat mulai bekerja, Salam harus mengajukan daftar kabinetnya untuk mendapatkan persetujuan dari parlemen dalam waktu 30 hari. Dengan komposisi parlemen yang masih didominasi partai-partai berbasis sektarian, tantangan politik tetap menjadi faktor yang harus dihadapi.

Pemerintahan baru dijadwalkan menggelar sidang pertamanya pada Selasa (11/2), seperti yang diumumkan Presiden Aoun melalui unggahan di media sosial X.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *