Perubahan Iklim Picu Cuaca Ekstrem, Kerugian Global Capai Triliunan Dolar

JAKARTA | SUARAHAM – Perubahan iklim yang semakin parah telah memperburuk peristiwa cuaca ekstrem, menyebabkan kerugian besar di berbagai negara di dunia. Antara tahun 1993 hingga 2022, hampir 800.000 orang kehilangan nyawa, sementara kerugian ekonomi mencapai US$ 4,2 triliun.

Menurut Indeks Risiko Iklim yang disusun oleh organisasi lingkungan asal Jerman, Germanwatch, negara-negara yang paling terdampak meliputi Dominika, Cina, dan Honduras.

Dampak Global Cuaca Ekstrem

“Indeks Risiko Iklim bertujuan untuk mengontekstualisasikan kebijakan iklim internasional dengan mempertimbangkan risiko nyata yang dihadapi negara-negara di seluruh dunia,” ujar Lina Adil, Penasihat Kebijakan di Germanwatch sekaligus salah satu penulis laporan tersebut.

Negara-negara yang masuk dalam peringkat tertinggi menghadapi beragam risiko, mulai dari dampak terhadap manusia—seperti kematian, cedera, pengungsian, dan kehilangan tempat tinggal—hingga kerugian ekonomi yang signifikan. Kedua kategori ini diperhitungkan secara setara dalam indeks tersebut.

Dominika: Krisis Akibat Badai

Dominika, negara kecil di Karibia yang rawan badai, mengalami krisis ekonomi akibat intensitas badai selama tiga dekade terakhir. Salah satu peristiwa paling merusak terjadi pada tahun 2018, ketika Badai Maria menyebabkan kerusakan senilai US$ 1,8 miliar—setara dengan 270% dari Produk Domestik Bruto (PDB) negara tersebut. Selain itu, persentase kematian relatif akibat badai di Dominika tergolong tinggi karena populasinya yang kecil.

Cina: Korban Cuaca Ekstrem Terbanyak

Cina menempati posisi kedua dalam indeks ini, terutama karena jumlah penduduknya yang besar dan sering terdampak gelombang panas, topan, serta banjir. Salah satu kejadian yang paling berdampak adalah banjir tahun 2016, yang menewaskan lebih dari 100 orang dan menyebabkan ratusan ribu orang mengungsi.

Honduras: Negara Rentan di Amerika Tengah

Honduras, yang berada di peringkat ketiga, semakin sering dilanda bencana alam akibat perubahan iklim. Sebagai salah satu negara termiskin di belahan bumi Barat, Honduras menghadapi tantangan besar dalam pemulihan pasca-bencana.

Badai Mitch pada tahun 1998 menjadi salah satu bencana paling mematikan di negara ini, menewaskan lebih dari 14.000 orang dan menghancurkan 70% sektor pertanian serta infrastruktur. “Dampaknya begitu besar hingga masih dibahas hingga saat ini,” ujar Diego Obando Bonilla, profesor aksi iklim di Universitas Zamora, Honduras.

Bencana banjir juga memberikan dampak ekonomi yang signifikan, dengan kerugian mencapai US$ 7 miliar, memperlambat pertumbuhan ekonomi negara. Sektor pertanian menjadi salah satu yang paling terdampak, terutama komoditas ekspor seperti kopi dan pisang, serta tanaman pangan utama seperti jagung dan kacang-kacangan.

Ancaman Global Tanpa Batas Geografis

Meskipun negara-negara di belahan bumi selatan diprediksi menghadapi ancaman terbesar, laporan ini menunjukkan bahwa negara-negara di Eropa juga tidak luput dari dampak perubahan iklim. Dalam Indeks Risiko Iklim terbaru, Italia, Yunani, dan Spanyol masuk dalam daftar 10 negara paling terdampak, terutama akibat gelombang panas yang ekstrem pada tahun 2022.

“Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dampak perubahan iklim dirasakan di seluruh dunia, tanpa perbedaan signifikan antara belahan bumi utara dan selatan,” kata Adil. Ia menyoroti bahwa negara-negara maju belum siap dalam menghadapi risiko bencana dan melakukan adaptasi yang memadai.

Contoh nyata dari kurangnya kesiapan ini adalah banjir ekstrem di Ahrtal, Jerman (2021) dan Valencia, Spanyol (2024), di mana pemerintah terlambat mengumumkan keadaan darurat, menyebabkan lebih dari 100 korban jiwa di masing-masing kejadian.

Tanggung Jawab Negara Maju

Menurut Adil, negara-negara berpendapatan tinggi memiliki tanggung jawab ganda dalam menghadapi krisis ini. “Negara-negara kaya harus beradaptasi dan mengelola risiko di dalam negeri dengan lebih baik, tetapi juga membantu negara-negara berkembang dengan memberikan dana serta dukungan, mengingat mereka menghasilkan emisi yang jauh lebih sedikit,” jelasnya.

Selain itu, pengurangan emisi menjadi faktor kunci dalam menekan dampak cuaca ekstrem di masa depan. Jika negara-negara industri terus menggunakan bahan bakar fosil secara masif, negara-negara paling rentan akan terus menghadapi bencana iklim yang semakin parah, tanpa memandang tingkat kemakmuran mereka.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *