MAKASSAR I SUARAHAM — Komando Mahasiswa Merah Putih Indonesia (KOMPI) Sulawesi Selatan melontarkan kecaman keras terhadap kebijakan Universitas Negeri Makassar (UNM) yang dinilai membebani mahasiswa baru dengan harga almamater yang tidak wajar.
Erwin, Jenderal Lapangan KOMPI Sulsel, menyoroti harga jas almamater untuk 11.884 mahasiswa baru yang dinilainya sarat kejanggalan dan terindikasi praktik mark-up.
“Harga jas almamater mencapai Rp175.000 ditambah dasi seharga Rp35.000, sehingga total sekitar Rp210.000 per mahasiswa. Kami mencium bau busuk permainan anggaran dalam proses pengadaan ini. Kualitas barang tidak sebanding dengan harga yang dibebankan kepada mahasiswa,” ujar Erwin saat memberikan keterangan di Makassar, Rabu (25/6/2025).
Lebih lanjut, ia menyoroti pengadaan almamater yang berasal dari PT. Tertai Widjaja, Bogor, sebagai pihak penyedia. KOMPI Sulsel mendesak rektorat UNM untuk membuka secara transparan rincian kontrak pengadaan tersebut kepada publik.
“Kami menuntut transparansi. Jika tidak ada kejelasan, kami akan membawa persoalan ini ke jalur hukum dan menggerakkan aksi massa dalam skala besar,” tegas Erwin.
Selain permasalahan almamater, KOMPI Sulsel juga menyuarakan protes atas tingginya Uang Kuliah Tunggal (UKT) di UNM yang dinilai semakin mencekik mahasiswa dari keluarga kurang mampu.
“UKT di UNM sudah melampaui batas nalar. Kampus negeri seharusnya menjadi ruang pembebasan dan pencerdasan, bukan alat pemiskinan rakyat. Mahasiswa bukan sapi perah!” sambung Erwin dengan nada geram.
Tiga Tuntutan Utama KOMPI Sulsel:
Audit independen terhadap proses pengadaan almamater UNM.
Pemanggilan dan pemeriksaan terhadap pihak rektorat UNM dan PT. Tertai Widjaja.
Evaluasi menyeluruh terhadap sistem UKT yang dianggap tidak adil dan tidak berpihak pada keadilan sosial.
KOMPI Sulsel menegaskan bahwa apabila dalam waktu dekat tidak ada klarifikasi dari pihak kampus, mereka akan melakukan aksi besar-besaran di depan Rektorat UNM dan memperluas tekanan hingga ke kementerian terkait di Jakarta.
“Kampus bukan ladang bisnis! Pendidikan adalah hak, bukan komoditas!” tutup Erwin dalam pernyataannya.