RAGAM  

Hukum Belum Berpihak: Ini Kisah Budiman S yang Melawan Ketidakadilan hingga Titik Nadir

MAROS I SUARAHAM – Di balik sejuknya udara Dusun Panaikang, Desa Moncongloe, Kabupaten Maros, tersimpan kisah panjang tentang seorang pria yang hidupnya dirampas oleh konflik berkepanjangan.

Namanya Budiman S seorang warga biasa yang kini menapaki tahun kesembilan dalam pusaran persoalan hukum yang tak kunjung usai.

Ketenteraman, bagi Budiman, bukan lagi sebuah kenikmatan sederhana, melainkan kemewahan yang sulit diraih. Sejak 2016, hidupnya berubah drastis. Harapannya hanya satu saat itu: mendapatkan sertifikat atas tanah yang ia kuasai secara sah.

Namun, alih-alih menemukan keadilan, ia justru terseret dalam labirin konflik hukum baik pidana maupun perdata yang datang silih berganti tanpa ampun.

Salah satu bab terpanjang dalam kisah hidupnya adalah sengketa batas tanah. Sengketa ini tak hanya berkutat di level desa, tetapi menjalar hingga ke Kantor Wilayah ATR/BPN Sulawesi Selatan.

Budiman bahkan sempat melaporkan dugaan pelanggaran oleh oknum aparat penyidik Polres Maros dan Polsek Moncongloe ke Propam Polda Sulsel.

Namun, laporan demi laporan tak kunjung membawa titik terang. Sidang-sidang di Pengadilan Negeri Maros masih berlangsung. Rencana gelar perkara di Ditreskrimum Polda Sulsel pun masih menjadi harapan yang menggantung.

Di tengah peliknya proses hukum, badai lain menerpa. Budiman harus berjuang melawan penyebaran berita hoaks dan fitnah. Kasus itu kini ditangani oleh Krimsus Polda Sulsel.

Namun, Budiman dengan tegas menyatakan bahwa dirinya adalah korban framing. Ia merasa dijebak dalam narasi palsu yang sengaja disusun untuk menghancurkan nama baiknya.

Tak cukup dengan tekanan hukum dan stigma sosial, kekerasan fisik pun turut menyasar dirinya. Suatu malam yang kelam, rumah dan kendaraan Budiman dihujani batu oleh sekelompok orang yang diduga dipimpin oleh seorang berinisial AD. Ia terluka, baik secara fisik maupun batin. Laporan polisi telah dibuat, tapi keadilan seolah masih jauh dari genggamannya.

Meski babak belur oleh masalah, Budiman tetap berdiri. Ia tak menyerah. Baginya, mempertahankan tanah bukan sekadar soal lahan, tapi menyangkut harga diri dan hak atas kehidupan yang layak.

“Saya hanya ingin hidup tenang, tinggal di tanah yang saya urus sendiri secara sah. Tapi tampaknya ada yang tak senang kalau saya terus berdiri memperjuangkan itu,” ucapnya lirih, tapi penuh keyakinan.

Perjuangan Budiman adalah gambaran nyata tentang bagaimana warga kecil bertahan dalam sistem hukum yang acap kali tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Di tengah fitnah, intimidasi, dan kekerasan, Budiman tetap percaya: keadilan mungkin tertunda, tapi tidak akan hilang.

Kisah Budiman adalah seruan sunyi dari pinggiran Maros, bahwa dalam belantara hukum dan kekuasaan, masih ada orang-orang kecil yang bertahan, bukan karena kuat, tapi karena tak punya pilihan selain terus berjuang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *