Pertanian Terancam Punah, Prof Sutan Minta Presiden RI Turun Tangan

JAKARTA | SUARAHAM – Perambahan hutan dan alih fungsi lahan secara brutal terus menghantam Indonesia. Dampaknya bukan hanya pada lingkungan, tetapi juga menghancurkan ekosistem pertanian, perkebunan, hingga sumber mata pencaharian jutaan rakyat.

Dalam pernyataan tegasnya, Prof. Dr. KH Sutan Nasomal, SH, MH pakar hukum internasional dan ekonom nasional menyebut hanya Presiden RI, Prabowo Subianto, yang punya keberanian politik untuk menghentikan krisis ini.

“Presiden Prabowo, yang dulu dikenal sebagai tokoh pembela petani, kini memegang kunci pamungkas untuk menyelamatkan Indonesia dari kehancuran ekologis dan ekonomi rakyat,” ujarnya, saat menjawab pertanyaan para pemimpin redaksi dari kantor pusat Partai Oposisi Merdeka, Kalisari, Jakarta, Jumat (11/7/2025) melalui sambungan seluler.

Pasal Konstitusi yang Terabaikan

Prof. Sutan mengingatkan, Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 menyatakan bahwa “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Namun, kenyataan hari ini justru sebaliknya. “Jika kekayaan alam malah memiskinkan rakyat, maka negara khususnya Presiden harus bertindak tegas. Ini bukan hanya kelalaian, tapi pengkhianatan terhadap konstitusi,” tegasnya.

Hilangnya Buah-Buahan Nusantara, Miskinnya Petani

Dalam kurun 25 tahun terakhir, jutaan pohon buah seperti kelapa, nangka, salak, duku, hingga cempedak ditebang dan digantikan oleh kebun kelapa sawit yang luasnya terus membengkak. Ironisnya, kata Sutan, ekspansi besar-besaran sawit tidak memberi dampak signifikan pada kesejahteraan warga lokal.

“Kelangkaan buah kelapa terjadi karena jutaan pohonnya ditebang. Harga melonjak, ketersediaan hilang. Anak-anak kita bahkan tak tahu lagi seperti apa bentuk pohon buah khas Nusantara. Inilah wajah dari pembangunan yang merampas,” sesalnya.

Sawit Menggusur, Daerah Miskin Tak Tertolong

Menurut Sutan, provinsi seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi hingga Papua kini merasakan dampak serius dari alih fungsi lahan. Perkebunan rakyat digusur, hutan dibabat, dan sumber air menghilang. “Sawit telah menghisap isi bumi, tapi tidak mengisi perut rakyat,” katanya.

Lapangan kerja pun tidak tercipta. Sebaliknya, pengangguran meningkat, petani kehilangan tanah, dan desa-desa tak lagi produktif. “Ini bukan pembangunan, ini adalah pembiaran. Negara abai terhadap hancurnya sumber kehidupan rakyat.”

Pejabat Terlibat, Aparat Diam

Prof. Sutan juga menuding keterlibatan sejumlah oknum pejabat, baik di daerah maupun pusat, dalam merampas sumber daya alam untuk kepentingan kelompok tertentu. “Apa gunanya Kementerian Pertanian, DLH, DPR RI, hingga kementerian lingkungan hidup, bila mereka hanya menjadi penonton kehancuran ini?”

Ia menekankan, pertambangan dan perkebunan skala besar kerap menjadi alat perusakan masif, namun tak memberi kontribusi berarti bagi masyarakat sekitar. “Yang ada hanya kemiskinan, kerusakan, dan keterasingan di tanah sendiri.”

Ketahanan Pangan Jadi Ilusi

Dalam kondisi seperti ini, menurutnya, program ketahanan pangan hanya tinggal jargon. “Rakyat kurus kering, tanah tak bisa ditanami, air susah, dan hukum malah tajam ke rakyat kecil,” sindirnya tajam.

Sutan juga menyesalkan tidak adanya satu pun kepala daerah yang berani menolak kerusakan wilayah mereka. “Kenapa tidak ada gubernur atau bupati yang menolak tambang pasir laut, perkebunan sawit, atau tambang nikel yang menghancurkan daerah mereka?”

Ajakan Revolusi dari Desa

Sebagai solusi, Sutan menyerukan kebangkitan dari akar rumput. “Sebanyak 75.265 kepala desa di seluruh Indonesia harus bersatu. Bangkitkan kembali pertanian rakyat. Tanami tanah desa. Lawan perampasan lahan dengan hukum, dengan undang-undang. Lindungi desa agar tidak dilucuti oleh korporasi rakus.”

Ia menambahkan bahwa kepala desa harus dilindungi secara hukum agar tak ditekan atau dikriminalisasi oleh kepentingan besar. “Saat desa kehilangan tanah, maka bangsa ini kehilangan masa depannya.”

Akhirnya, Pertanyaan Menggema:

Ke mana hasil bumi Indonesia?

Mengapa rakyat tetap miskin di negeri yang kaya raya?

Prof. Sutan Nasomal menutup dengan pesan keras, “Jangan lagi kita bangga melihat ratusan kilometer kebun sawit. Yang kita butuhkan adalah ladang-ladang subur yang menghidupi rakyat. Mari selamatkan tanah air sebelum semuanya tinggal cerita.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *