Debu dan Truk Ancam Keselamatan Warga, Diduga Tambang Ilegal PT Giarto Adry Cemerlang Beroperasi Tanpa Izin

MAROS I SUARAHAM — Lembaga pemantau lingkungan Garis Indonesia membeberkan dugaan aktivitas pertambangan galian C ilegal yang disebut dikelola oleh PT Giarto Adry Cemerlang di kawasan Gudang 88, Kecamatan Mandai, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan.

Ironisnya, lokasi tambang tersebut berjarak sangat dekat dengan pemukiman warga, bahkan kurang dari 200 meter dari rumah penduduk.

Sekjen Garis Indonesia, Erwin, menegaskan bahwa pihaknya menemukan sejumlah indikasi kuat adanya aktivitas pengerukan tanah berskala besar dan mobilisasi kendaraan berat yang berlangsung hampir setiap hari.

“Kami menemukan bukti visual dan keterangan warga terkait aktivitas tambang ilegal di bawah pengelolaan PT Giarto Adry Cemerlang. Tidak ada papan izin, tapi kegiatan berjalan terus seolah kebal hukum. Ini pelanggaran berat terhadap UU Minerba dan tata ruang wilayah,” ungkap Erwin dengan nada tegas, Jumat (17/10/2025).

Menurutnya, area yang dijadikan lokasi kegiatan tersebut tidak memiliki izin pertambangan yang sah (IUP), dan secara aturan tidak masuk dalam zona industri berat atau kawasan tambang.
Namun di lapangan, alat berat terus beroperasi, tanah terus dikupas, dan material diangkut keluar menggunakan truk besar.

“Jarak antara lokasi kegiatan dan rumah warga tidak sampai dua ratus meter. Padahal, Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 40 Tahun 2016 jelas menetapkan jarak minimal 2.000 meter antara kawasan industri dan permukiman,” tegasnya.

Pantauan tim Garis Indonesia di lapangan menemukan jalan lingkungan warga penuh debu dan berlubang akibat lalu lintas truk tambang. Debu tebal bahkan menyelimuti halaman dan atap rumah warga, terutama saat cuaca panas dan kering.

Seorang warga setempat, Rahma (42), mengaku sudah tak tahan dengan kondisi yang terjadi selama beberapa bulan terakhir.

“Setiap hari lewat truk besar, debunya parah sekali. Anak-anak sering batuk dan sesak napas. Kalau kami protes, katanya itu proyek resmi. Tapi sampai sekarang tidak pernah ada sosialisasi dari pihak perusahaan,” ujarnya dengan nada kesal.

Warga lainnya, Syamsuddin (55), mengaku pernah meminta aparat desa untuk menegur aktivitas tersebut, namun tak ada tindak lanjut.

“Kami sudah lapor, tapi seperti dibiarkan saja. Kami khawatir kalau hujan deras, tanah yang dikupas bisa longsor ke arah rumah. Sudah kelihatan retak di bagian tebingnya,” ucapnya.

Lebih parah, menurut Garis Indonesia, perusahaan yang beroperasi di lokasi tersebut tidak memiliki sistem pengendalian dampak lingkungan sama sekali.

Tidak ada penyiraman jalan untuk menekan debu, air limbah dibiarkan mengalir ke saluran warga, dan alat berat beroperasi hingga malam hari, menyebabkan kebisingan hebat di tengah kawasan perumahan.

“Ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tapi bentuk pengabaian terhadap keselamatan manusia. Dampaknya nyata: polusi udara, pencemaran air, dan risiko longsor. Ini harus segera dihentikan,” tegas Erwin.

Dalam pernyataannya, Garis Indonesia mengultimatum Polda Sulawesi Selatan dan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Sulsel agar segera melakukan penyelidikan menyeluruh.

“Kami mendesak Polda Sulsel segera memeriksa legalitas PT Giarto Adry Cemerlang. Bila terbukti melanggar, tangkap dan proses sesuai hukum. Kami juga meminta DLH Sulsel menurunkan tim audit lingkungan untuk memeriksa dampak dan izin AMDAL-nya,” kata Erwin dengan nada keras.

Garis Indonesia menegaskan, jika dalam waktu dekat tidak ada tindakan nyata dari aparat penegak hukum, mereka akan melaporkan kasus ini ke Mabes Polri dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta menggelar aksi besar-besaran di Polda Sulsel.

“Kami tidak anti-investasi. Tapi hukum tidak boleh tunduk pada kepentingan perusahaan. Kalau aparat diam, kami akan turun lebih keras bersama masyarakat,” tegasnya lagi.

Garis Indonesia menilai, dugaan aktivitas pertambangan ini berpotensi menimbulkan kerusakan ekologis serius, seperti:

1. Penurunan kualitas udara akibat polusi debu

2. Kerusakan struktur tanah dan perubahan kontur lahan

3. Pencemaran air tanah dan permukaan

4. Gangguan kesehatan bagi warga sekitar

“Kami akan terus kawal kasus ini. Jangan sampai aparat hanya diam melihat rakyat menderita sementara perusahaan leluasa merusak lingkungan,” tutup Erwin.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *